Rabu, 17 Desember 2008

sinopsis novel

Sinopsis Novel

Judul : Salah Pilih

Pengarang : Nur Sutan Iskandar

Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta

Tahun Terbit : Cetakan Pertama tahun 1928

Unsur intrinsik :

* Tokoh dan Penokohan :

* Asri : patuh terhadap orang tua, penyayang, lapang dada, sabar, terpelajar, berbudi halus

* Asnah : baik, berbudi luhur, ramah, sopan, lembut, pemaaf, patuh dan taat pada orang tua, sedikit tertutup

* Mariati : baik hati, walau kadang sikapnya ketus dan masam, namun begitu penyayang tehadap keluarganya.

* Sitti Maliah : baik hatinya, penyayang,

* Saniah ( istri Asri ) :pandai berpura-pura, angkuh, sikapnya bengis, cara bicaranya kasar dan suka menyindir dengan kata-kata yang pedas.

* Rusiah ( kakak Saniah ) : sabar, baik budinya, lembut

* Rangkayo Saleah ( Ibu Saniah ): angkuh, sombong, tinggi hati

* Dt. Indomo ( Ayah Saniah ) : walaupun baik tetapi terlalu takut terhadap istrinya sehingga tidak dapat tegas dalam mengambil keputusan

* Kaharuddin ( Kakak Saniah ) : rendah hati, tidak suka membeda-bedakan orang karena perbedaan harta dan kekayaan saja

* Mariah : baik, menyayangi Asnah layaknya anaknya sendiri setelah Mariati meninggal dunia.

* Dt. Bendahara : memegang teguh adat, namun tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang bertentangan dengannya.

* Tema : kesalahan seseorang dalam menentukan pilihan,

Perjuangan melawan adat yang tidak sesuai dengan hati, kemajuan zaman, dan hukum syara (agama)

* Amanat :

* Walaupun sudah berpendidikan tinggi, hendaknya janganlah lupa pada adat negeri sendiri.

* Janganlah menilai seseorang hanya dari rupa dan harta saja, karena belum tentu seorang yang bagus rupa dan banyak harta, bagus pula perilaku dan akhlaknya.

* Jangan suka membeda-bedakan orang karena hartanya, karena banyak orang yang miskin harta tetapi memiliki kekayaan jiwa.

* Menurut pada perintah dan nasihat orang tua itu wajib hukumnya, tetapi jika perintah orang tua itu menuntun pada jalan yang salah, sebaiknya sebisa mungkin harus bisa menolaknya.

* Larangan dalam Adat istiadat memang harus dipatuhi, namun jika agama saja membenarkan dan tidak melarangnya, sebaiknya kita berpegang teguh kepada hukum yang lebih tinggi nilainya yaitu hukum agama.

* Sesuatu yang menurut orang banyak itu salah, belum tentu itu merupakan suatu kesalahan. Karena pada dasarnya, kebenaran itu bukan dilihat dari berapa banyak orang yang mempercayainya, tetapi atas dasar apa sesuatu itu dapat disebut sesuatu yang benar.

* Alur : alur yang digunakan adalah alur maju

* Latar : latar tempat sebagian besar di Daerah Minangkabau, yaitu Maninjau, Sungaibatang, Bayur, dan Bukittinggi. Sebagian juga mengambil latar tempat di Pulau Jawa.

* Sudut Pandang : novel ini menggunakan sudut pandang orang ke tiga

* Gaya Penulisan : penulisan novel ini sebagian besar menggunakan bahasa melayu yang di dalamnya terdapat sebagian kata yang kurang dapat difahami dalam bahasa Indonesia dan tidak sesuai dengan EYD, juga terdapat beberapa peribahasa di dalamnya..

Salah Pilih

Di sebuah daerah di Minangkabau, tinggal sebuah keluarga. Seorang ibu, saudara perempuannya, dan seorang anak perempuan terdapat dalam keluarga tersebut. Anak perempuan itu bernama Asnah, ia adalah anak angkat dari Mariati. Asnah adalah seorang gadis yang cantik, baik, sopan, lembut, serta taat dan patuh terhadap Mariati, walaupun Mariati hanyalah ibu angkatnya. Kebaikan hati Asnah itu pulalah yang membuat Mariati teramat sangat sayangnya terhadap Asnah, jadilah Asnah pengobat dalam setiap sakitnya dan penghibur dikala susahnya.

Setiap kali perlu sesuatu, Mariati lebih senang dilayani oleh Asnah daripada oleh Sitti Maliah, jadilah Sitti Maliah kadang-kadang merasa iri terhadap Asnah karena tak jarang pekerjaannya tidak terpakai oleh Mariati. Walaupun demikian, Sitti Maliah tetap senang dan sayang terhadap Asnah karena memang perangai gadis tersebut benar-benar baiknya.

Selain Asnah, Mariati juga mempunyai seorang anak laki-laki bernama Asri. Asri sama pula sayangnya terhadap Asnah sebagaimana dia menyayangi adik kandungnya. Namun karena Asri sedang bersekolah di Jakarta, jadi dia tak dapat selalu bertemu dengan Asnah untuk sekedar berbagi cerita.

Namun, seiring berjalannya waktu, berubah pulalah perasaan Asnah terhadap Asri. Semula perasaannya terhadap Asri hanya sebatas perasaan sayang terhadap seorang saudara, namun demikian perasaan itu terus mengalir hingga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Asnah. Walau demikian, Asnah tak ingin Asri mengetahui perasaan dirinya. Sebisa mungkin dia bersikap biasa manakala Asri pulang.

Hingga tiba saat Asri tamat dari sekolahnya, dan Mariati menyuruh Asri tinggal dan bekerja di Kampung halamannya saja karena ia merasa ia sudah demikian tua dan sakit-sakitan maka ia tak ingin jauh-jauh dari anak laki-lakinya itu. Sebenarnya keinginan Mariati tadi sangat bertentangan dengan keinginan hati Asri, karena ia sangat ingin meneruskan sekolahnya ke sekolah setingkat SMA atau ke sekolah kedokteran, namun sebagai seorang anak yang ingin berbakti kepada ibunya, akhirnya ia mengikuti keinginan ibunya tersebut. Hingga suatu saat merasa bahwa Asri sudah cukup umur bahkan bisa dibilang sudah matang untuk menikah.

Asri menyetujui saja keinginan ibunya tersebut, hanya saja dia masih bingung dalam mencari calon istri untuk dirinya. Asnah begitu kaget manakala ia mendengar bahwa Asri akan segera menikah. Tapi ia berusaha sebisa mungkin menutupi perasaannya tersebut. Asri masih bingung memilih-milih wanita calon istrinya, sebernanya Asri dan Asnah boleh saja menikah, hanya karena adat istiadat yang berlaku saat itu maka dirasa tidak pantas mereka menikah karena dianggap masih sepedukuan yang berasal dari satu kaum. Lalu dipilih-pilihlah wanita di Negerinya yang belum menikah. Akhirnya Asri menemukan seorang gadis yang dirasa cocok untuk menjadi pendampingnya kelak. Gadis itu adalah Saniah. Keinginannya melamar saniah bukanlah tanpa alasan. Asri lebih dahulu tertarik kepada kakak Saniah, yaitu Rusiah. Rusiah adalah seorang perempuan yang baik hatinya, dan lembut perangainya. Namun ketika Asri bersekolah di Bukittinggi, ternyata Rusiah dikawinkan dengan seorang laki-laki bernama Sutan Sinaro. Jadi Asri memutuskan untuk meminang Saniah karena dirasa bahwa Saniah pun tak akan jauh beda dengan kakaknya, baik rupa ataupun perangainya.

Sampai suatu saat Asri bersama-sama ibunya memutuskan untuk bertamu ke rumah keluarga Saniah. Keluarga itu adalah keluarga orang terpandang, keluarga seorang bangsawan kaya dan terpelajar. Walaupun ibu gadis tersebut memiliki perangai yang kaku dan cenderung angkuh, namun Asri yakin bahwa Saniah tentunya berperangai lain dengan ibunya.

Lalu, tak berapa lama, Asri memutuskan memilih Saniah sebagai calon istrinya. Mereka berdua melaksanakan acara pertunangan terlebih dahulu. Saat pertunangan, Saniah benar-benar menampakkan perangai yang sangat baik, ia pun hormat terhadap seluruh keluarga Asri. Perangai demikian itu membuat Asri semakin yakin dengan pilihannya itu. Tak lama, dilangsungkanlah upacara perkawinan Asri dengan Saniah yang sangat meriah.

Setelah menikah, mereka berdua lalu pndah ke Rumah Gedang milik keluarga Asri. Dari situlah diketuahui bahwa perangai Saniah tidaklah seelok yang dia perlihatkan saat sebelum menikah. Saniah begitu memandang rendah terhadap Asnah hanya karena Asnah adalah seorang anak angkat. Dia merasa bahwa tidak sepatutnya Asnah disejajarkan dengan dirinya yang berasal dari kaum terpandang. Ternyata, perangai Saniah begitu angkuhnya, berbeda dengan yang dia perlihatkan sebelum menikah dahulu. Saniah begitu sering berkata menyindir, bersikap bengis, bahkan mencaci maki yang begitu menyakitkan hati Asnah. Bahkan terhadap mertuanya pun, Saniah bersikap yang kurang sopan. Namun Asnah adalah seorang gadis tegar dan sabar yang mempunyai hati lapang, dia tak pernah membalas perlakuan buruk dari iparnya itu.

Tak lama setelah menikah, adat buruk Saniah semakin menjadi. Bahkan sekarang dia berani melawan terhadap suaminya, kerap kali ia juga berkata-kata kasar terhadap suaminya. Sehingga dapat dilihat kalau adat Saniah tak jauh bedanya dengan ibunya, Rangkayo Saleah. Hingga membuat kesabaran Asri kian berkurang dan akhirnya Asri membiarkan Saniah pulang ke rumah orang tuanya manakala saat itu Sidi Sutan datang menjemput. Yang semula bermaksud menjemput Saniah dan Asri, namun karena pertengkaran itu, jadilah Saniah pulang sendiri.

Hingga suatu hari Rangkayo Saleah mendapat kabar bahwa anak laki-lakinya, Kaharuddin akan menikah dengan seorang perempuan anak seorang saudagar batik di kota Padang, tak tertahankan lagilah amarahnya. Dianggapnya oleh Rangkayo Saleah bahwa Kaharuddin akan menikah dengan seorang perempuan yang tak tentu asal-usulnya. Sementara Dt. Indomo merasa tidak setuju dengan pendapat istrinya itu, ia setuju saja anaknya menikah dengan siapapun asal perempuan yang disukainya itu terpelajar, sehat, orang baik-baik dan bersopan santun. Kaya, miskin, bangsawan, berbeda negeri, dan sebagainya tidaklah dipandang sebagai alasan.

Namun Rangkayo Saleah tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak menyetujui pernikahan Kaharuddin. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Padang mendatangi Kaharuddin. Kebetulan saat itu Saniah berada di rumahnya setelah Sidi Sutan menjemputnya dari rumah Gedang. Maka diajaknya lah Saniah pergi ke kota Padang. Di tengah jalan, kendaraan yang mereka tumpangi sempat berhenti. Lalu sejenak Saniah memandang negeri yang ia tinggallkan. Namun entah mengapa, begitu banyak yang ia ingat saat ia memandang Rumah Gedang yang nampak jelas terlihat dikejauhan. Tiba-tiba ia teringat akan suaminya, yang begitu sayang terhadapnya, maka teringatlah ia bahwa ia telah durhaka terhadap suaminya, teringat ia akan dosa-dosa yang telah ie perbuat terhadap orang-orang di sekitarnya, termasuk pada Asnah. Lama benar ia memandang, seakan-akan ia akan pergi jauh. Lalu dilanjutkannyalah perjalanan mereka. Dan Rangkayo Saleah menyuruh kepada supir untuk memacu kendaraannya lebih cepat agar mereka bisa lebih cepat sampai di tujuan. Sang sopirpun begitu senang ketika Rangkayo Saleah menyuruhnya untuk memacu kendaraannya dengan cepat. Karena baginya inilah saatnya untuk memperlihatkan kelihaiannya dalam mengendalikan mobil, walaupun jalanan berkelok tajam, juga tebingnya yang begitu curam.

Akhirnya, peristiwa yang sangat tidak diharapkanpun terjadi. Sang sopir kehilangan kendalinya, dan mobil yang dikendalikannya itu jatuh terbalik dan masuk ke dalam sungai yang kering airnya. Rangkayo Saleah meninggal di tempat kejadian, sementara Saniah yang kelihatannya masih bernafas segera diselamatkan orang-orang dan dibawa ke rumahsakit. Namun karena kecelakaan yang dialaminya begitu parah, akhirnya Saniah pn meninggal dunia setelah sempat bertemu dan meminta maaf kepada suaminya.

Setelah beberapa lama Saniah meninggal, begitu banyak lamaran datang kepada Asri. Namun dia tak ingin salah pilih lagi. Dan ia memutuskan kalaupun ia hendak menikah lagi, ia hanya akan menikah dengan orang yang sudah sangat dikenal oleh dirinya dan dapat menjadi kawan yang selalu ada dalam susah, sedih, senang dan gembira, yaitu Asnah. Ia tak ingin salah pilih lagi karena ia yakin bahwa Asnah lah satu-satunya perempuan terbaik bagi dirinya. Namun saat itu Asnah tinggal bersama Mariah, saudara perempuan Mariati yang tinggal di Bayur. Jadilah Asri mendatanginya sekalian minta izin kepada Mariah untuk menikahi Asnah.

Para penghulu adat dan masyarakat pun sangat kaget mendengar keputusan Asri, karena walau bagaimanapun, Asri dan Asnah sudah dianggap sebagai saudara sepesukuan. Walaupun Asri tidak setuju pada pendapat orang-orang, karena baginya Asnah hanyalah saudara angkat yang dibesarkan bersama-sama dengannya dan tidak ada ikatan darah dengannya.

Namun, pikiran orang-orang berlainan dengannya. Dan adat pun mengatakan bahwa jika ada saudara sepesukuan yang melangsungkan perkawinan, maka mereka tidak akan diakui lagi sebagai warga Minangkabau. Dan Asri, daripada ia harus mengikuti adat yang bertentangan dengan hati nuraninya dan harus kehilangan orang yang dicintainya, ia pun memutuskan untuk membawa Asnah pergi meninggalkalkan Minangkabau. Dan ia pun rela melepaskan pekerjaannya sebagai seorang Sutan Bendahara. Mereka memutuskan untuk pergi ke Jawa.

Awalnya, kehidupan mereka disana tidak begitu berkecukupan. Mereka pun banyak dijauhi oleh orang-orang sekampung mereka yang kebetulan sama-sama berniaga di Jawa. Namun karena usaha keras dan kesabarah hati mereka, akhirnya Asri mendapatkan pekerjaan yang layak. Dan yang terpenting, Asri mendapatkan kebahagian bersama Asnah.

Selang berapa lama, Asri dan Asnah mendapatkan surat dari para penghulu negri untuk segera pulang ke kampung halamannya. Karena penduduk kampung sadar telah kehilangan orang pintar yang mempunyai cita-cita yang besar untuk kemajuan negrinya. Seiiring kemajuan zaman, pengetahuan penduduk negri pun sudah terbuka lebar dan mereka lebih bisa menanggapi sesuatu hal dengan cara yang masuk akal.

Akhirnya, Asri dan Asnah pulang kembali ke kampung halamannya. Mereka disambut dengan suka cita oleh para penduduk disana. Asri diberikan kedudukan sebagai Engku Sutan Bendahara. Mereka sangat dihormati oleh penduduk dan hidup berbahagia.

Kutipan isi Novel

§ ”Apa?” katanya dengan suara keras, ”Kaharuddin hendak kawin dengan anak Padang, dengan orang yang tak tentu asal-usulnya? Anak durhaka! Mengapa ia akan beristrikan orang negeri lain? Kurangkah gadis yang elok, berbangsa dan kaya di negeri kita ini? Dan mengapa ia datang mengaki kepada perempuan? Padahal perempuanlah yang wajib datang kepadanya! Apalagi di Padang, - laki-laki bangsawan harus ”dijemput” oleh perempuan! Tidak, aku tidak izin....” ( halaman 177).

§ ”Wah, Bunda,” serunya kepada ibunya, ”alangkah indahnya dan permainya pemandangan dari sini. Awan berarak di atas air, melindungi biduk-biduk yang bersimpang siur itu. Wah, lihat, Bunda, kampung Kubu, mesjid dan nun ... rumah gedang.” ketika menyebut tempat kediaman yang ditinggalkannya dengan tak bertentu itu , sekonyong-konyong darahnya tersirap dan hatinya berdebar-debar dengan keras. Air matanya pun jatuh berderai ....

Hal itu diperhatikan oleh bundanya. ”Ah, seolah-olah kita akan berjalan lauh dan takkan .... kembali lagi.” katanya sembil menurutkan pandang anaknya. ”Ayuh, mari ke oto pula, kita teruskan perjalanan.”

”Tunggu sebentar, Bunda hatiku ....”

”Ah, hari sudah tinggi. Nanti terlambat. ”Mari lekas!”

Sambil melayangkan mata sekali lagi ke rumah gedang, danau dan kampung-kampung sekelilingnya, Saniah berjalan guntai dan masuk ke dalam kendaraan pula. Memang hatinya terharu sangat. Sedih, sayu dan rindu ... Di ruang matanya terbayang segala kejadian dan bujur-malangnya selama bersuami, terbayang wajah almarhumah mentuanya yang tak pernah dihormatinya, sekalipun perempuan itu kasih dan sayang kepadanya. Ya, tampak pula rupa Ibu Liah dan Asnah sejelas-jelasnya. Bukan keburukannya, melainkan segala kebaikan , ketulusan dan kesabarannya semata-mata, walaupun mereka itu senantiasa disakitinya. Dan suaminya, ah ... Air matanya berlinang-linang, demi sosok tubuh Asri tiba-tiba ... terdiri di hadapannya, seelok-eloknya. Tidak marah, tidak bermuka masam, melainkan ia tersenyum simpul sedih dan belas kasihan akan dia. Sekujur badan Saniah gemetar, sebeb bersamaan dengan pemandangan gaib itu Nur Illahi pun seakan-akan menyinarkan ke dalam ruhnya berapa besar seseorang istri, yang mendurhaka kepada suaminya. ”Wahai, Kanda,” katanya, ”Jiwaku ...” Dan kalau tidak takut kepada bundanya, niscaya diusulkannya supaya haluan oto dihadapkan pulang kembali. Sungguh, -- belum pernah ia berasa rindu sekeras dan segairat itu terhadap kepada suaminya. ”Aduh, mengapa kutinggalkan dia dengan cara begini,” katanya dalam hatinya. ”Ampun,Kanda suamiku ... Aku sudah sesat menempuh jalan hidup, yang sudah disurihkan baik-baik kepadaku oleh Rusiah dan St. Sinaro. – Tapi kutempuh jua jalan ke jurang. – Ampuni kesalahanku, dosaku, ya, Kakanda.” ( halaman 186-187)

§ ”Sutan Bendahara terpelajar, keturunan orang baik-baik dan berbudi halus. Tak mau menceraikan istri, yang telah dipilihnya. Sekalipun pilihanyya itu salah. ... ” (halaman 199)

§ Pada suatu hari, ketika penghulu kaumnya mendatangkan seorang gadis jelita, kaya dan terpelajar, ia pun berkata terus-terang, bahwa ia takkan kawin kalau tidak dengan Asnah ...

Bukan alang-kepalang terperanjat penghulu itu mendengar pengakuan yang ganjil itu.

”Apa?” katanya. ”Sutan, anak orang baik-baik, anak kepala negeri dan penghulu andika yang terhormat dan keturunan orang besar-besar dalam negri ini, akan melanggar adat lama pusaka usang,? Tidak tahukan Sutan, bahwa orang sesuku itu seketurunan, tidak boleh kawin-mengawini, mereka itu bersaudara?”

”Tahu. Malah bukan oarang sesuku saja, tapi umat manusia pun saya ketahui seketurunan, sama-sama cucu nabi Adam dan bersaudara jua. Akan tetapi menurut syarak atau agama kita, agama Islam, orang sesuku itu boleh kawin-mengawini, -- tiada terlarang, bukan?”

”Dalam hal itu persaudaraan orang sesuku atau sepesukuan lebih rapat dan erat. Laki-laki dan perempuan sepesukuan itu selubang bak tebu, searai bak pinang. Mereka itu seutang sepembayaran, sepiutang sepenerimaan dan sehina semalu. Mana boleh mana boleh laki-laki dan perempuan yang demikian diperkawinkan? Menurut syarak boleh, kata Sutan tadi? Hum, jangan Sutan lupa, bahwa syarak itu bersendi adat. Kalau bertentangan dengan adat kebiasaan, tak mungkin syarak dijalankan di negri ini.”

”Kalau begitu, -- maaf, kalau saya katakan, bahwa orang kita belum berdiri tegak dengan yakin di atas agama Islam, belum berpegang teguh pada ajaran agama tuhan itu. Tandanya, Engku sendiri pun masih menguatkan tafsiran pepatah adat lama, yang telah usang atau lapuk. Menurut pepatah adat sekarang yaitu sejak agama dipelajari baik-baik, bukan syarak yang bersendi adat, melainkan adat itulah yang disendikan kepada syarak dan syarak itu tetap bersendi Kitabullah.”

”Sekalipun demikian, Sutan, sekalipun Kitabullah atau Quran dan Hadis telah dipelajari dan diimani serta diamalkan orang kita barangkali lebih baik daripada di tempat lain-lain, namun adat kita itu masih berkuasa dalam pergaulan hidup dan masyarakat kita. Jadi kehendak Sutan yang sumbang itu tidak dapat saya perkenankan.”

”Sekali lagi maaf, Engku, jika filsafat hidup menurut adat masih berkuasa itu saya bantah. Pertama, karena agama tidak boleh dipermain-mainkan. Lebih-lebih apabila rukun syaratnya memang sudah diketahui dan diamalkan! Adat melarang laki-laki dan perempuan sesuku kawin, padahal agama membolehkan. Lagi pula lupakah Engku bahwa Tuhan mengadakan jodoh (perempuan) bagimu (laki-laki) dari pada dirimu (laki-laki) jua. ... ... ” (halaman 206)

§ Dan lagi:

Usang-usang (kalau telah usang) diganti, diperbaiki, dan lapuk-lapuk (kalau telah lapuk) dikajang, ditunjang.”

Datuk Bendahara terpekur, tetapi segera mengangkatkan kepala pula dan memandang kepada Asri tenang-tenang. Dan tiba-tiba ia pun berkata dengan gembira, ”Ha, dibiarkan anak-anak muda memilih, kata Sutan? Pilihan Sutan sendiri bagaimana hasilnya? ”Baik sekali,” bukan? Ha, ha, ha .....”

Asri merasa tepat kena pukul. Merah mukanya dan naik darahnya. Untung ia dapat menahan hati, lalu menjawab dengan sabar dan halus, ”Pilihan saya dahulu itu sungguh salah, Engku Datuk. Kurang hati-hati, lain tidak karena terdorong oleh rasa hormat kepada dat kebiasaan kita jua, yaitu mata harus mula-mula diarahkan kepada keturunan dan kekayaan si gadis. Betul hanya karena pengaruh ada itu, Engku, padahal cita-cita perkawinan tidak demikain. Jadi saya akui, bahwa saya ketika itu memang kurang insaf, tidak teliti, sehingga timbul sesal. Ya, mungkin jua sebab saya kurang mendao=pat pimpinan ..., maaf, tetapi kesalahan itu sudah menjadi pengajaran kepada saya hingga ini ke atas. Sudah nyata kepada saya, bahwasanya dalam hal memilih sesuatu bukannya kepada kulitnya pandang harus ditukikan dengan hemat-cermat, melainkan terutama sekali kepada isinya.”

Agak merah air muka penghulu itu, karena ia merasa kena sindiran halus daripada anak buahnya. Ia pun berkata bengan keras, ”Akan tetapi niat Sutan hendak kawin dengan Asnah berdasarkan rasa cinta, oleh karena dia – kata Sutan – Cuma seorang saudara angkat saja; -- ah, bukantah niat sedemikian menunjukkan alamat atau tanda Sutan masih belum insaf, tidak berhati-hati? Melainkan Sutan memperbesar kesalahan jua.”

”Tidak, sebab dia memang cuma saudara angkat sesuku saja kepada saya. Apalagi sudah berulang-ulang saya kemukakan, bahwa adat perkawinan yang Engku pertahankan itu hanyalah kebiasaan dalam satu-satu negri saja, atau boleh dikatakan hanyalah adat-istiadat biasa saja. Masih jauh daripada tingkat adat nan sebenar adat, yang tak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas.” (halaman 207-208)

§ ”Ya, Ibu, tentu maksud ibu susah menurut adat, bukan? Benar, di dalam beberapa bulan perkara itu sudah kupikirkan dan kubicarakan dengan beberapa penghulu dalam negri Sungaibatang. Mereka itu berpendapat, bahwa aku tidak boleh kawin dengan Asnah, pertama-tama – kecuali karena masalah sesuku itu – sebab kami sudah dianggap bersaudara sejak kecil. Kami setepian tempat mandi, kami sepenjemuran dan sepintu gapura, -- kata dat pula. Hanya bekas mentuaku dan seorang lagi penghulu daripada suku lain – Cuma kedua beliau itulah yang mengerti akan hasrat hatiku. Beliau-beliau itu menerangkan bahwasanya masih ada jalan untuk melampaui larangan adat itu, yakni lebih dahulu ”buatan diungkai dan buhul dibuka.” Akan tetapi untuk mengungkai buatan dan membuka buhul itu aku harus mengisi adat: memoting kerbau seekor, mengadakan beras seratus gantang dan menjamu segala penghulu dalam negri Sungaibatang makan minum. Jika tidak kulakukan sedemikian dan aku kawin juga dengan Asnah, kami mesti dikeluarkan dalam adat – dan tidak diakui sebagai orang Minangkabau lagi.”

”Jadi, bagaimana pikiranmu? Sukakah engkau mengisi adat itu?”

”Tidak, Ibu. Sebab kurasa cara mengisi adat dengan makan-makan itu kurang bijaksana terhadap kepada adat itu sendiri. Tidak sesuai dengan kenyataan dan kehendak jaman. Apalagi hanya karena aku tidak tidak mengadakan upacara ”makan besar” itu aku dibuang atau takkan diakui lagi sebagai orang Minangkabau? Hum, bagaimana juapun daif dan lemah aku ini, bagaimana jua pun picik dan kurang ilmu pengetahuanku, tetapi aku senantiasa bercita-cita hendak serta meninggikan derajat tanah-tumpah-darahku, supaya tegak sama tinggi dan duduk sama rendah dengan suku-bangsa yang lain-lain dalam masa sekarang dan masa yang akan datang jua. Sedikit-sedikit langkahku sedah kuarahkan ke sana. Dan sudah mulai diikuti anak negri ... Cita-citaku tinggi melangit, Ibu! Sebagai orang muda-muda yang cinta kepada tanah airnya dan bangsanya, yang selalu melihat kepada masa depan, aku pun ingin menyertai mereka itu Aku ingin mengejar kemajuan bersama-sama dengan teman hidupku ...!” (halaman 217-218)

§ ... Pendek kata, Asnah sungguh-sungguh kawan sejati bagi Asri, baik di dalam kesusahan dan kesukaran, baikpun di dalam senang sentosa dan riang-gembira. Hal itu sebagai bumi dan langit bedanya dengan pengalamannya di kampung dahulu. ”Betul-betul salah pilih,” katanya dalam hatinya, apabila ia teringat akan masa lampau itu, ”Akan tetapi, ya, takdir, ....” (halaman 222)

§ Pada suatu hari, tengah duduk bercakap-cakap dan berkelakar di beranda rumahnya, mereka itu pun mendapat sepucuk surat dari negrinya.

”Surat apakah ini, Asnah?” kata Asri kepada istrinya, seraya memperhatikan nama dan alamat si pengirimnya. ”Ya, surat dari Engku Dt. Bendahara, penghulu kita ... apa kehendak beliau itu?”

”Bukalah dan bacalah,” kata Asnah dengan manis, ”kabar baik agaknya.”

Surat itu pun dibuka oleh Asri, lalu dibacanya bersama-sama dengan istrinya.

”Benar kabar baik,” kata keduanya dengan sekaligus.

”Hura,! Kanda diminta orang dengan keras pulang ke kampung, Kanda akan diangkat jadi kepala negri .... Kita mesti pulang, Asnah, ke rumah gedang.”

Baharu tersebut ”rumah gedang” itu, air mata Asnah sudah berlinang-linang di pipinya, oleh karena sangat sukacita hatinya.

Di dalam surat itu tersebut bahwa ”sekalian penghulu negri Sungaibatang telah semupakat belaka akan memperbaiki nama Asri dan Asnah,” sebab mereka telah melanggar adat-perkawinan yang lazim itu.

Hem, sebenarnya istilah ”memperbaiki nama Asri dan Asnah” itu tidak betul. Yang betul adalah kebalikannya. Oleh karena desakan anak negri yang sudah berasa kehilangan seorang-orang pandai, orang terpelajar, semenjak Asri meninggalkan kampungnya, sehingga cita-cita kemajuan yang dirancangkannya dan dimulainya dahulu boleh dikatakan tinggal terbengkalai saja, maka bagaimana jua pun akhirnya timbulah hasrat baik ... Berhubung dengan kematian kepala negri di situ, maka sekalian penghlu, iman-khatib, orang cerdik-pandai serta anak negri sudah semupakat belaka, akan memilih Asri jadi kepala negri Sungaibatang. Bulat subah boleh digulingkan, pecak sudah boleh dilayangkan, maka sekalian orang meminta dengan sangat, supaya orang muda itu pulang selekas-lekasnya. Dan engku Dt. Bendahara pun berjanji akan ”hidup berkerelaan” dengan Asri; ilamana Asri sudah tiba di negrinya, pangkat penghulu itu akan diserahkan kepadanya.

Pikir Asri, hal itu sangat penting. Tentang halnya akan dijadikan penghulu itu, sudah lama tersimpan di dalam hatinya. Selama ia tinggal di kampung, ia sudah memperhatikan kebaikan adat Minangkabau tentang hal berkaum-keluarga, mengatur masyarakat rukun damai dan mengamankan negri. Asas ast itu sungguh bagus, berdasar kepada kata mupakat. Demokrasi .... Hanya beberapa pasal dari pada aturan/cara menjalankan adat itu mungkin tidak sesuai lagi dengan keadaan jaman, tidak elok dan tidak layak lagi dilakukan pada masa ini. Akan mengubah barang suatu yang telah berurat-berakar dalam masyarakat, -- itulah pekerjaan yang sangat sukar. Sebab kebanyakan anggota adat itu seolah-olah tidak hidup bersama-sama dengan kecerdasan dan peredaran zaman.

Akan tetapi, lama-kelamaan niscaya kesukaran itu akan hilang-lenyap juga, perubahan akan timbul dan dapat dicapai, apabila pimpinan adat sudah dipegang oleh orang muda-muda yang terpelajar, berilmu pengetahuan dan berhaluan kemajuan terutama tentang masalah hidup dalam masyarakat umum. Ya, asal mereka itu tidak mengabaikan dasar filsafat adat Minangkabau yang sebenarnya, yaitu rasa, akal dan pikiran, yang disertai dengan keyakinan beragama, berbangsa dan bertanah air. (halaman 223-224)

§ Pidato pendek yang tegas itu disambut oleh hadirin dengan tempik sorak riuh-rendah.

”Terima kasih,” kata kedua suami istri itu. Setelah itu keduanya pergi mendapatkan ibu Liah serta orang-orang setangganya, lalu masuk ke dalam rumah dengan sangat terharu hatinya.

”Untung, Asnah, untung besar! Di sini kita akan hidup berbahagia selama-lamanya,” ujar Asri.

”Alhamdulillah!” sahut Asnah sambil duduk di kursi ruang tengah serta melayangkan mata berkeliling dengan rindunya. ”Teringat oleh adindi masa dahulu .... Akan tetapi, Kakanda, demi adinda lihat ruant sebelah di atas itu, maaf, terlukis pula di ruang mata adinda masa Adinda ....”

Tiba-tiba, air matanya bercucuran.

”Akibat salah pilih, yaitu kesalahan kakanda yang sudah lama Adinda betulkan dan sempurnakan” ujar Asri dengan terharu benar-benar, sebab peringatan itu membayangkan pahit-getir hidupnya pada masa dahulu di dalam jiwanya. (halaman 230-231).

SINOPSIS NOVEL

SALAH PILIH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Teori dan Sejarah Sastra Indonesia

Dosen: Prana D. Iswara



Disusun oleh

Nama : Evi Nurvianti

Kelas : Bahasa B

NIM : 0605148

Absen : 21

PROGRAM S-1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KAMPUS SUMEDANG

2008

8 komentar:

  1. hai,hai,hai,,,,
    poskan komentar rekan-rekan semua kesini iiaaaa...
    ditunggu lho..

    BalasHapus
  2. wah bagus bgt g' sembarangan orsng bisa membuat sinopsis seperti ini

    BalasHapus
  3. lumayan juga blognya.......



    kerajaansembilansatu.blogspot.com

    BalasHapus
  4. hmm, klo boleh tau novel ini di kaji dengan pendekatan apa ??

    BalasHapus
  5. i like IT,,,, terimakasih yahhh,, sinopsis ini sangat membantu saya untuk mengerjakan tugas dari guru saya,,,, MAJU TRUZ BUAT BLOGNYA,,,

    BalasHapus
  6. sinopsisnya bagus, menyeluruh. jadi enak bacanya.

    BalasHapus